A. Strategi Pembelajaran Pemecahan Masalah
Pengajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction / PBI) merupakan model pengajaran yang menyajikan pada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Peranan guru dalam PBI adalah mengajukan masalah, memfasilitasi penyelidikan dan dialog siswa, serta mendukung belajar siswa. PBI diorganisasikan di sekitar situasi kehidupan nyata yang menghindari jawaban sederhana dan mengandung pemecahan masalah yang bersaing. Adapun ciri-ciri utama PBI meliputi suatu pengajuan pertanyaan atau masalah, suatu pemusatan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama, serta menghasilkan karya dan peragaan.
Model pengajaran ini sangat efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi, membantu siswa memproses informasi yang telah dimilikinya, dan membantu siswa membangun sendiri pengetahuannya tentang dunia sosial dan fisik di sekelilingnya.
Pengajaran berdasarkan masalah berlandaskan pada psikologi kognitif dan pandangan para konstruktivis mengenai belajar sebagai pendukung teoritisnya. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat melakukan kegiatan itu.
Walaupun peran guru pada kelas PBI kadang melibatkan presentasi dan menjelaskan sesuatu hal kepada siswa, namun yang lebih umum adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilisator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri. Teori-teori pembelajaran konstruktivis yang menekankan kebutuhan siswa untuk menyelidiki lingkungannya dan membangun secara pribadi pengetahuan bermakna, merupakan dasar ilmiah untuk PBI. Model pengajaran ini sesuai dengan yang dikehendaki oleh prinsip-prinsip CTL, yaitu inquiri, konstruktivisme, dan menekankan pada bepikir tingkat tinggi.
PBI tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Model pengajaran ini dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual. Siswa dilatih untuk belajar berperan sebagai orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri.
B. Pembelajaran Berbasis Proyek
PBL (Project based Learning/ Pembelajaran Berbasis Proyek) merupakan metoda belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan pelajar dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Berikut pengertian PBL menurut beberapa ahli.
& PBL adalah metoda pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan perancangan produk dan tugas [University of Nottingham, 2003]/
& PBL adalah pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya [Barron, B. 1998, Wikipedia].
& PBL adalah pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap permasalahan nyata. [Blumenfeld et Al. 1991].
& PBL adalah cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktifitas pelajar. [Boud & Felleti, 1991]. Metoda ini memiliki kecocokan terhadap konsep inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut :
pelajar memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk memecahkan masalah bidang keteknikan yang dijumpainya,
pelajar belajar secara aktif dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering disebut student-centered,
pelajar mampu berpikir kritis, dan mengembangkan inisiatif.
Ada tiga kategori umum penerapan proyek untuk pelajar, yakni mengembangkan keterampilan, meneliti permasalahan dan menciptakan solusi. Kreatifitas dari suatu proyek membantu perkembangan pertumbuhan individu. Berdasarkan hasil riset bahwa PBL memberikan kemampuan kognitif dan motivasi yang menghasilkan peningkatan pembelajaran dan kemampuan untuk lebih baik mempertahankan/ menerapkan pengetahuan.
Pada model PBL pelajar dilibatkan dalam memecahkan permasalahan yang ditugaskan, mengijinkan para pelajar untuk aktif membangun dan mengatur pembelajarannya, dan dapat menjadikan pelajar yang realistis. Pendekatan ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut.
Kurikulum : PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional, karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat.
Responsibility : PBL menekankan responsibility dan answerability para pelajar ke diri dan panutannya.
Realisme : kegiatan pelajar difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan pelajar untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri.
Umpan Balik : diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap para pelajar menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
Keterampilan Umum : PBL dikembangkan tidak hanya pada ketrampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management.
Driving Questions : PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu pelajar untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
Constructive Investigations : sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para pelajar.
Autonomy : proyek menjadikan aktifitas pelajar sangat penting.
Pendekatan PBL adalah penggunaan proyek sebagai metoda pengajaran/pembelajaran. Para pelajar bekerja secara nyata, seolah-olah ada di dunia nyata yang dapat menghasilkan produk secara realistis. Prinsip yang mendasari adalah bahwa dengan aktifitas kompleks ini, kebanyakan proses pembelajaran yang terjadi tidak tersusun dengan baik. Alternatif penggunaan PBL adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dari pengalaman terdapat dua dimensi untuk menggolongkan alternatif PBL :
1) penyelesaian tugas dan pembelajaran pengetahuan yang pokok,
2) manajemen proyek dan pembelajaran ketrampilan secara umum.
Selama berlangsungnya proses belajar dalam PBL pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan.
Narasumber
Menyusun trigger problems.
Sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan cetak atau elektronik.
Melakukan evaluasi hasil pembelajaran.
Fasilitator
Secara umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses belajar kelompok. Secara lebih rinci peran fasilitator adalah sebagai berikut.
Mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman-temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.
Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.
Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar, serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan dalam proses belajar yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat.
Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga memberikan pengarahan untuk mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
Membimbing proses belajar pelajar dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan ini hendaknya merupakan pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dan lain-lain.
Mengevaluasi kegiatan belajar pelajar, termasuk partisipasinya dalam proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan.
Mengevaluasi penerapan PBL yang telah dilakukan.
C. Pembelajaran Kuantum
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
Teori otak kanan/kiri
Teori otak triune (3 in 1)
Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
Teori kecerdasan ganda
Pendidikan holistik (menyeluruh)
Belajar berdasarkan pengalaman
Belajar dengan symbol
Simulasi/permainan
Sementara itu, dalam Quantum Teaching (2000:4) dikatakannya sebagai berikut. Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner), Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective Instruction (Hunter).
Dua kutipan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa ada bermacam-macam akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum. Pelbagai akar pandangan dan pikiran itu diramu, bahkan disatukan dalam sebuah model teoretis yang padu dan utuh hingga tidak tampak lagi asalnya – pada gilirannya model teoretis tersebut diujicobakan secara sistemis sampai ditemukan bukti-bukti empirisnya.
Di antara berbagai akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum yang dikemukakan oleh DePorter di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan-pandangan teori sugestologi atau pembelajaran akseleratif Lozanov, teori kecerdasan ganda Gardner, teori pemrograman neurolinguistik (NLP) Grinder dan Bandler, dan pembelajaran eksperensial [berdasarkan pengalaman] Hahn serta temuan-temuan mutakhir neurolinguistik mengenai peranan dan fungsi otak kanan mendominasi atau mewarnai secara kuat sosok [profil] pembelajaran kuantum.
Teori kecerdasan ganda, teori pemograman neurolinguistik, dan temuan-temuan mutakhir neurolinguistik sangat berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum mengenai kemampuan manusia selaku pembelajar – khususnya kemampuan otak dan pikiran pembelajar. Selain itu, dalam batas tertentu teori dan temuan tersebut juga berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum tentang perancangan, penyajian, dan pemudahan [fasilitasi] proses pembelajaran untuk mengembangkan dan melejitkan potensi-diri pembelajar – khususnya kemampuan dan kekuatan pikiran pembelajar.
Sementara itu, pembelajaran akseleratif, pembelajaran eksperensial, dan pembelajaran kooperatif sangat berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum terhadap kiat-kiat merancang, menyajikan, mengelola, memudahkan, dan atau mengorkestrasi proses pembelajaran yang efektif dan optimal – termasuk kiat memperlakukan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran.
KARAKTERISTIK UMUM KUANTUM
Walaupun memiliki akar landasan bermacam-macam sebagaimana dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yang dapat memantapkan dan menguatkan sosoknya. Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum sebagai berikut.
Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai.
Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis.
Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis.
Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan], menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran.
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran.
Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis.
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada.
Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran.
Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban.
Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
PRINSIP-PRINSIP UTAMA
Prinsip dapat berarti (1) aturan aksi atau perbuatan yang diterima atau dikenal dan (2) sebuah hukum, aksioma, atau doktrin fundamental. Pembelajaran kuantum juga dibangun di atas aturan aksi, hukum, aksioma, dan atau doktrin fundamental mengenai dengan pembelajaran dan pembelajar.
PANDANGAN TENTANG PEMBELAJARAN DAN PEMBELAJAR
Beberapa pandangan mengenai pembelajaran dan pembelajar yang dimaksud dapat dikemukakan secara ringkas berikut.
• Pembelajaran berlangsung secara aktif karena pembelajar itu aktif dan kreatif.
• Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila didasarkan pada karakteristik gaya belajar pembelajar sehingga penting sekali pemahaman atas gaya belajar pembelajar.
• Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila tercipta atau terdapat suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan sehingga kenyamanan, kesenangan, kerileksan, dan kegairahan dalam pembelajaran perlu diciptakan dan dipelihara.
• Pembelajaran melibatkan lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau potensi diri pembelajar secara serempak.
• Pembelajaran terutama pengajaran membutuhkan keserasian konteks dan isi. Segala konteks pembelajaran perlu dikembangkan secara serasi dengan isi pembelajaran.
• Pembelajaran berlangsung optimal bilamana ada keragaman dan kebebasan karena pada dasarnya pembelajar amat beragam dan memerlukan kebebasan.
D. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pengajaran di mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami suatu bahan pelajaran. Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah khas di antara model-model pembelajaran karena menggunakan suatu struktur tugas dan penghargaan yang berbeda untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Model pembelajaran kooperatif berkembang dari kebiasaan pendidikan yang menekankan pada pemikiran demokratis dan latihan atau praktek, pembelajaran aktif, lingkungan pembelajaran yang kooperatif dan menghormati adanya perbedaan budaya masyarakat yang bermacam-macam.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar konstruktivis sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky. Menurut kalim ketiga Vygotsky, menyatakan bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan cultural. Pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Artinya, pengetahuan didistribusikan di antara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, artifak, alat, buku, dan komunitas di mana orang berada. Fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerjasama antar individu sebelum fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Implikasi dari teori Vygotsky ini adalah dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif berbeda dengan pengajaran langsung. Disamping model pengajaran ini dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik, model kooperatif juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar.
Selain itu, pembelajaran kooperatif memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor sebaya bagi siswa kelompok bawah, dimana mereka memiliki orientasi dan bahasa yang sama sehingga memudahkan terjadinya komunikasi dua arah.
Model pembelajaran kooperatif bertujuan agar terdapat efek (pengaruh) di luar pembelajaran akademik, khususnya peningkatan penerimaan antarkelompok serta keterampilan sosial dan keterampilan kelompok. Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di mana pekerjaan orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan di mana masyarakat secara budaya sangat beragam. Kurangnya kemampuan berkolaborasi menyebabkan seringnya terjadi pertikaian, kesalahpahaman, kekerasan, dan betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.
Diperlukan lingkungan pembelajaran yang kooperatif dari pada kompetitif dalam hal tugas-tugas dan penghargaan. Dasar-dasar teoretis dan empiris mendukung penggunaan model pembelajaran kooperatif untuk tujuan pendidikan berikut: mendapatkan tingkah laku kooperatif, hasil kerja teoreitis dan memperbaiki hubungan-hubungan yang tidak harmonis.
E. Pembelajaran Sirklus
Siklus belajar adalah model pembelajaran yang fleksibel, terutama bagi seseorang yang kurang mendapat pengalaman langsung sehingga melalui siklus belajar siswa akan memperoleh pengalaman tersebut, misalnya dalam fase eksplorasi.
Macam-Macam Siklus Belajar
Terdapat tiga macam siklus, yaitu deskriptif, empirikal-abduktif, dan hipotetikal-deduktif. Perbedaan ketiga macam siklus belajar hanya terletak pada usaha siswa mendeskripsikan sifat-sifat atau generalisasi eksplisit dan menguji hipotesis-alternatif.
Pada siklus belajar deskriptif, siswa menemukan dan mendeskripsikan pola empirik dalam konteks yang khas.
Pada siklus belajar empirikal-abduktif, siswa juga menemukan, seperti pada siklus pertama (eksplorasi), tetapi telah melangkah lebih jauh, yaitu dengan menciptakan sebab-sebab yang mungkin ada pada pola tersebut.
Pada siklus belajar hipotetikal-deduktif, siswa mengemukakan per-tanyaan-pertanyan sebab musabab yang dapat menimbulkan beberapa macam penjelasan.
F. Pembelajaran Generatif
Pengertian Pembelajaran Generatif
Pembelajaran Generatif (PG) merupakan terjemahan dari Generative Learning (GL). Menurut Osborno dan Wittrock dalam Katu (1995.b:1), pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki mahasiswa sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam menjawab persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan dalam memori jangka panjang.
Landasan Teoritik dan Empirik Pembelajaran Generatif
Pembelajaran generatif memiliki landasan teoritik yang berakar pada teori-teori belajar konstruktivis mengenai belajar dan pembelajaran. Butir-butir penting dari pandangan belajar menurut teori konstruktivis ini menurut Nur (2000:2-15) dan Katu (1995.a: 1-2), diantaranya adalah :
Menekankan bahwa perubahan kognitif hanya bisa terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami inforamasi-informasi baru.
Seseorang belajar jika dia bekerja dalam zona perkembangan terdekat, yaitu daerah perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangannya saat ini. Seseorang belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona tersebut.
Penekanan pada prinsip Scaffolding, yaitu pemberian dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah.
Lebih menekankan pada pengajaran top-down daripada bottom-up. Top-down berarti mahasiswa langsung mulai dari masalah-masalah kompleks, utuh, dan autentik untuk dipecahkan.
Menganut asumsi sentral bahwa belajar itu ditemukan. Meskipun jika kita menyampaikan informasi kepada mahasiswa, tetapi mereka harus melakukan operasi mental atau kerja otak atas informasi tersebut untuk membuat informasi itu masuk ke dalam pemahaman mereka.
Menganut visi mahasiswa ideal, yaitu seorang mahasiswa yang dapat memiliki kemampuan pengaturan diri sendiri dalam belajar.
Menganggap bahwa jika seseorang memiliki strategi belajar yang efektif dan motivasi, serta tekun menerapkan strategi itu sampai suatu tugas terselesaikan demi kepuasan mereka sendiri, maka kemungkinan sekali mereka adalah pelajar yang efektif dan memiliki motivasi abadi dalam belaja
Tahapan Pembelajaran Generatif
Langkah-langkah atau tahapan pembelajaran generatif menurut Katu (1995. b:5-6), terdiri atas 5 tahap dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tahap-1 : Pengingatan
Pada tahap awal ini, dosen menuliskan topik dan melibatkan mahasiswa dalam diskusi yang bertujuan untuk menggali pemahaman mereka tentang topik yang akan dibahas. Tujuan dari tahap pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian mahasiswa terhadap pokok yang sedang dibahas, membuat pemahaman mereka menjadi eksplisit, dan sadar akan variasi pendapat di antara mereka sendiri. Untuk membuat suasana menjadi kondusif, dosen diharapkan tidak akan menilai mana pendapat yang “salah” dan mana yang “benar”. Yang perlu dilakukan adalah membuat mereka berani mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Sebaiknya pertanyaan yang diajukan dosen adalah pertanyaan terbuka.
b. Tahap-2 : Tantangan dan Konfrontasi
Setelah dosen mengetahui pandangan sebagian mahasiswanya, dosen mengajak mereka untuk mengemukakan fenomena atau gejala-gejala yang diperkirakan muncul dari suatu peristiwa yang akan didemonstrasikan kemudian. Dosen diharapkan untuk mencatat dan mengelompokkan dugaan dan penjelasan yang muncul di papan tulis. Secara sadar dosen mempertentangkan pendapat-pendapat yang berbeda itu. Setelah itu dosen melaksanakan demonstrasi dan meminta mahasiswa untuk mengamati dengan seksama gejala yang muncul.
c. Tahap-3 : Reorganisasi Kerangka Kerja Konsep
Pada tahap ini dosen membantu mahasiswa dengan mengusulkan alternatif tafsiran menurut fisikawan dan menunjukkan bahwa pandangan yang dia usulkan dapat menjelaskan secara koheren gejala yang mereka amati. Diharapkan mahasiswa mulai mereorganisasi kerangka berpikir mereka dengan melakukan perubahan struktur dan hubungan antar konsep-konsep. Proses reorganisasi ini tentu membutuhkan waktu.
d. Tahap-4 : Aplikasi Konsep
Pada tahap ini, dosen memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk diselesaikan oleh mahasiswa dengan kerangka konsep yang telah mengalami rekonstruksi. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan baru mereka pada situasi dan kondisi yang baru. Pelatihan ini dimaksudkan juga untuk lebih menguatkan hubungan antar konsep di dalam kerangka berpikir yang baru mengalami reprganisasi.
c. Tahap-5 : Menilai Kembali
Dalam suatu diskusi, dosen mengajak mahasiswanya dalam menilai kembali kerangka kerja konsep yang telah mereka dapatkan.
Beberapa Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran Generatif
Dalam melaksanakan pembeljaran generatif,menuru Sutrisno (1995:3), dosen perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menyajikan demonstrasi untuk menantang intuisi mahasiswa. Setelah dosen mengetahui intuisi yang dimiliki mahasiswa, dosen mempersiapkan demonstrasi yang menghasilkan peristiwa yang dapat berbeda dari intuisi mahasiswa. Dengan melihat peristiwa yang berbeda dari dugaan mereka maka di dalam pikiran mereka timbul perasaan kacau (dissonance) yang secara psikologis membangkitkan perasaan tidak tenteram sehingga dapat memotivasi mereka untuk mengurangi perasaan kacau itu dengan mencari alternatif penjelasan.
b. Mengakomodasi keinginan mahasiswa dalam mencari alternatif penjelasan dengan menyajikan berbagai kemungkinan kegiatan mahasiswa antara lain berupa eksperimen/percobaan, kegiatan kelompok menggunakan diagram, analogi, atau simulasi, pelatihan menggunakan tampilan jamak (multiple representation) untuk mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar. Variasi kegiatan ini dapat membantu mahasiswa memperoleh penjelasan yang cukup memuaskan.
c. Untuk lebih memperkuat pemahaman mereka maka dosen dapat memberikan soal-soal terbuka (open-ended questions), soal-soal kaya konteks (context-rich problems) dan pertanyaan terbalik (reverse questions) yang dapat dikerjakan secara kelompok.
G. Pembelajaran Berbasis TIK
TIK bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan. Pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak “gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal. Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia persekolahan kita tampaknya memang harus sudah mulai mengakrabi TIK. Di kelaslah “ruh kurikulum” berada. Dalam benak saya terbersit bayangan, di sekolah yang telah memanfaatkan TIK untuk merevitalisasi pembelajaran, ada sebuah moving class, yang bisa dimanfaatkan secara bergiliran –sesuai jadwal– oleh guru dari berbagai mata pelajaran.
Di klas itu sudah tersedia komputer (PC atau notebook) online, LCD, scanner, printer, dan berbagai software pembelajaran yang menarik dan memikat perhatian siswa didik. Dengan terampil, sang guru akan mengemas pembelajarannya melalui berbagai tayangan media yang menarik, sehingga mampu menggugah emosi dan pikiran siswa untuk bersikap kreatif, penuh inistatif, dan kritis. Dengan demikian, pembelajaran betul-betul berlangsung secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ini artinya, setiap guru, mau atau tidak, harus siap menyongsong “era baru” melalui pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Alasan “tidak bisa”, “tidak berbakat” perlu dikubur dalam karena siapa pun bisa menggunakan TIK asalkan mau belajar dan tidak malu bertanya.
Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi dalam memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.
H. Pembelajaran Berbasis Modul
Modul adalah paket bahan belajar yang berisi satuan unit konsep yang tunggal/bulat dan atau utuh. Modul menggiring terjadinya individulisasi belajar yang mempersyaratkan anak untuk menguasai satu satuan unit konsep isi bahan belajar sebelum berpindah ke pengkajian satuan unit konsep bahan belajar berikutnya.
Modul berupa unit terkecil dari suatu program pembelajaran yang terdiri atas komponen : petunjuk guru, petunjuk aktivitas siswa, lembaran kerja siswa, lembar jawaban siswa, asesmen siswa dan lembar jawaban asesmen (Soedijarto, 1976:25). Pembelajaran melalui modul merupakan cara pengorganisasian material dan aktivitas dengan ciri-ciri : anak memahami tujuan khusus yang akan dicapai, memiliki opsi aktivitas yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan khusus, misalnya membaca teks, diskusi, observasi, penggunaan AVA dan sejenisnya, dapat membelajarkan diri sendiri dengan bantuan guru yang sangat kecil, dapat menentukan sendiri kecepatan belajarnya, dan memiliki prosedur pengecekan untuk mengetahui keberhasilan belajar. (Charles, 1980:116).
Suprihadi , dkk.(2001) menyebutkan, modul merupakan suatu unit pembelajaran yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu sibelajar mencapai sejumlah tujuan yang telah dirumuskan secara khusus dan jelas. Di dalam menerapkan sistem modul, pembelajar hendaknya memperhatikan hal-hal berikut (Palardy, 1975).
a. Menyediakan bahan-bahan bacaan alternatif pada berbagai tingkat kesukaran;
b. Menyediakan bermacam-macam topik untuk dipelajari oleh sibelajar;
c. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk memilih topik-topik yang akan dipelajarinya;
d. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk menyusun tujuan pembelajaran;
e. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk belajar dengan menggunakan atau sesuai dengan kebiasaan belajarnya;
f. Mendorong sibelajar untuk mencari dan menemukan sumber-sumber informasi;
g. Menyediakan bermacam-macam cara belajar;
h. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk maju sesuai dengan kemampuannya;
i. Menyediakan bantuan tutorial;
j. Merencanakan dan melaksanakan pretes diagnostik untuk menentukan apa yang telah diketahui oleh sibelajar;
Penerapan pembelajaran dengan sistem modul bertujuan untuk membuka kesempatan bagi sibelajar untuk belajar menurut kecepatan dan caranyanya masing-masing. Modul juga menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran, seperti membaca buku pelajaran, buku perpustakaan, majalah, karangan, gambar, foto, diagram, film, slide, mendengarkan audio-tape, mempelajari alat-alat demonstrasi, turut serta dalam proyek atau percobaan serta mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Selain itu modul dapat memberikan pilihan dari sejumlah besar topik dalam rangka suatu pelajaran, serta memberi kesempatan kepada sipebelajar untuk mengenal kelebihan dan kekurangannya serta memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
Keuntungan yang bisa diperoleh melalui pembelajaran dengan sistem modul antara lain :
dapat memberikan balikan sesegera mungkin dan berkali-kali,
mengutamakan prinsip belajar tuntas,
memiliki tujuan yang jelas dan spesifik,
dapat menimbulkan motivasi yang kuat dalam belajar,
fleksibel,
mengurangi rasa persaingan dan meningkatkan kerja sama,
menyediakan program pengajaran remedial,
dapat memberikan rasa puas pada sipebelajar,
menyediakan bantuan individual,
pengayaan dan
mencegah kemubasiran dalam kegiatan belajar.
Peranan Guru dan Fasilitas kelas dalam Pembelajaran dengan Modul
Modul pada dasarnya adalah self instruction. Oleh karena itu, belajar melalui modul lebih menekankan peranan aktif siswa untuk membelajarkan diri sendiri. Meskipun demikian, pembelajaran dengan modul tidak berarti membebaskan peranan guru dalam pembelajaran di kelas. Peranan guru tetap ada tetapi mengalami perubahan. Beberapa peranan guru dalam pembelajaran melalui modul adalah sebagai berikut:
guru mengkaji terlebih dahulu buku petunjuk guru yang berisi uraian tentang tujuan dan strategi belajar, media dan alat evaluasi, agar dapat menyiapkan lingkungan belajar yang diperlukan anak dalam beljarnya,
menjelaskan proses belajar yang harus diikuti anak sebelum menyampaikan modulnya itu sendiri,
memberikan bimbingan kepada anak dalam belajarnya, serta mampu menemukan kesalahan proses belajar yang dilakukan anak, sehingga segera dapat meluruskannya, memberikan informasi seperlunya ,
memberikan penilaian atas pekerjaan anak atas tugas-tugasnya bersama anak itu sendiri,
menyiapkan keperluan anak untuk melanjutkan modul berikutnys. Pendek kata dalam pembelajaran dengan modul, peranan guru adalah manajer yang bertugas untuk menyiapkan dan mengondisi kemudahan belajarnya anak, sebagai observer yang bertugas untuk mendiagnosis kesulitan belajar anak.
Fasilitas kelas untuk pembelajaran dengan modul sebagai berikut. Susunan ruang kelas perlu di atur untuk memudahkan anak belajar, dalam arti perlu pengaturan sehingga ada area membaca, area menulis, area ava, dan lain-lain relevan dengan bentuk-bentuk belajar yang terdapat di modul.
Modul secara fisik berupa buku-buku cetakan yang meliputi , buku cetakan tentang petunjuk guru, buku kegiatan siswa, lembar kerja siswa, lembar jawaban kerja siswa, lembar penilaian dan lembara jawaban penilaian. Mengingat hal itu, maka setiap kelas perlu disediakan almari untuk penyimpanan nya. Di samping itu, tersedia pula alat-alat belajar yang diperlukan anak untuk melakukan kegiatan siswa. Semuanya membutuhkan tempat penyimpanan khusus, sehingga memudahkan anak ketika memerlukan maupun menyimpannya kembali.
I. Pembelajaran Ranah Motorik
Penekanan proses pembelajarannya lebih banyak ditujukan pada proses perangsangan yang bervariasi, sehingga setiap kali anak selalu mengerahkan kemampuannya dalam mengolah informasi. Domain kognitif mencakup pengetahuan tentang fakta, konsep, dan lebih penting lagi adalah penalaran dan kemampuan memecahkan masalah. Aspek kognitif tidak saja menyangkut penguasaan pengetahuan faktual semata-mata, tetapi meliputi pula pemahaman terhadap gejala gerak dan prinsipnya, termasuk yang berkaitan dengan landasan ilmiah pendidikan jasmani dan olahraga serta manfaat pengisian waktu luang
Domain afektif mencakup sifat-sifat psikologis yang menjadi unsur kepribadian yang kukuh. Tidak hanya tentang sikap sebagai kesiapan berbuat yang perlu dikembangkan, tetapi yang lebih penting adalah konsep diri dan komponen kepribadian lainnya, seperti intelegensia emosional dan watak.
Konsep diri menyangkut persepsi diri atau penilaian seseorang tentang kelebihannya. Konsep diri merupakan fondasi kepribadian anak dan sangat diyakini ada kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka setelah dewasa kelak. Intelegensia emosional mencakup beberapa sifat penting, yakni pengendalian diri, kemampuan memotivasi diri, ketekunan, dan kemampuan untuk berempati.
Pengendalian diri merupakan kualitas pribadi yang mampu menyelaraskan pertimbangan akal dan emosi yang menjadi sifat penting dalam kehidupan sosial dan pencapaiannya untuk sukses hidup di masyarakat. Demikian juga dengan ketekunan; tidak ada pekerjaan yang dapat dicapai dengan baik tanpa ada ketekunan. Ini juga berlaku sama dengan kemampuan memotivasi diri, kemandirian untuk tidak selalu diawasi dalam menyelesaikan tugas apapun. Di lain pihak, kemampuan berempati merupakan kualitas pribadi yang mampu menempatkan diri di pihak orang lain, dengan mencoba mengetahui perasaan oran lain.
Karena itu pula empati disebut juga sebagai kecerdasan hubungan sosial. “Cubitlah diri kamu sendiri, sebelum mencubit orang lain. Niscaya kamu akan mengetahui, apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan pada orang lain,” merupakan kearifan leluhur, yang jika diperas maknanya, tidak lain adalah penekanan kemampuan berempati. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak Dunia anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban dan keriangan.
Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian, menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa. Dunia anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya keterampilannya. Bermain adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarnya. Bayangkan keceriaan yang didapatnya ketika ia menyadari baru saja menambah pengetahuan dan keterampilan. “Lihat, saya sudah bisa “ teriaknya kepada semua orang.Belajar dan keceriaan merupakan dua hal penting dalam masa kanak-kanak.
Hal ini termasuk upaya mempelajari tubuhnya sendiri dan berbagai kemungkinan geraknya. Misi pendidikan jasmani tercakup dalam tujuan pembelajaran yang meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor. Perkembangan pengetahuan atau sifat-sifat sosial bukan sekedar dampak pengiring yang menyertai keterampilan gerak.
Tujuan itu harus masuk dalam perencanaan dan skenario pembelajaran. Kedudukannya sama dengan tujuan pembelajaran pengembangan domain psikomotor.Dalam hal ini, untuk mencapai tujuan tersebut , guru perlu membiasakan diri untuk mengajar anak tentang apa yang akan dipelajari berlandaskan pemahaman tentang prinsip-prinsip yang mendasarinya. Pergaulan yang terjadi di dalam adegan yang bersifat mendidik itu dimanfaatkan secara sengaja untuk menumbuhkan berbagai kesadaran emosional dan sosial anak. Dengan demikian anak akan berkembang secara menyeluruh, yang akan mendukung tercapainya aneka kemampuan. Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan.Ada tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani, yaitu:• meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,• meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta• meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
J. Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang mengggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran. Jadi batasan waktu dan cakupan materi kegiatan siswa di sekolah didasarkan pada tema yang dikembangkan oleh guru, bukan didasarkan pada jadwal mata pelajaran.
dua alasan mendasar diterapkan pembelajaran tematik yaitu:
Pertama: Perkembangan psikologis anak
Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap obyek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang obyek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan obyek dengan konsep yang sudah ada dalam pikirannya) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Belajar dimaknai sebagai proses interaksi diri anak dengan lingkungannya. Anak belajar dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, dan diraba.
Kedua : Pembelajaran bermakna.
Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta belaka, tetapi kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh. Hal ini sejalan dengan falsafah konstruktivisme yang menyatakan bahwa manusia mengkontruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak.
beberapa keuntungan lain dilaksanakan pembelajaran tematik, antara lain:
e Pembelajaran menjadi menyenangkan
Siswa sungguh senang karena pembelajaran dikelola sesuai dengan perkembangan jiwa anak dengan bermain dan melakukan kegiatan kreatif
e Siswa mudah memusatkan perhatian
Dalam pembelajaran tematik kegiatan berjalan mengalir tanpa dipenggal-penggal dengan pergantian jam pelajaran. Perhatian siswa tidak terpecah-pecah.
e Penguasaan kompetensi akan lebih kuat dan mendalam.
Dengan perhatian yang lebih terpusat dan kegiatan yang lebih tuntas, ditambah lagi dengan suasana yang menyenangkan serta materi sesuai dengan konteksnya, maka dapat diharapkan penguasaan kompetensi siswa lebih kuat dan mendalam.
e Hemat waktu
Dengan demikian jelaslah bahwa pembelajaran tematik sungguh-sungguh menghemat waktu.
e Pelaksanaan Pembelajaran Tematik
Polanya mengikuti pola yang dikeluarkan oleh BNSP, yaitu ada kegiatan pembuka, inti dan penutup.
K. Pembelajaran contextual teaching and learning (CTL)
Pendekatan kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah yang disimulasikan.
Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggungjawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya. CTL menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen/pilar utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
L. Pembelajaran Eypocitory
Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru menggunakan dua kutub strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua macam, bahkan menggunakan metode campuran.
Suatu saat guru dapat menggunakan strategi ekspositorik dengan metode ekspositorik juga. Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak melibatkan siswa secara aktif. Strategi mana yang lebih dominan digunakan oleh guru tampak pada contoh berikut:
Pada Taman kanak-kanak, guru menjelaskan kepada anak-anak, aturan untuk menyeberang jalan dengan menggunakan gambar untuk menunjukkan aturan :
Berdiri pada jalur penyeberangan, menanti lampu lintas sesuai dengan urutan wama, dan sebagainya Dalam contoh tersebut, guru menggunakan strategi ekspositorik.
Dengan film sebagai media, akan merupakan strategi ekspositori bila direncanakan untuk menjelaskan kepada siswa tentang apa yang harus mereka perbuat, mereka diharapkan menerima dan melaksanakan informasi/penjelasan tersebut. Strategi ini akan menyebabkan anak berpikir untuk dapat menemukan jalan yang dianggap terbaik bagi dirinya masing-masing. Tugas tersebut memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan pertanyaan sebelum mereka sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya terbaik. Mungkin mereka perlu menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari jalan lain kalau dianggap kurang baik.
UNTUK MATERI BERUPA PPT KLIK DISINI
Pengajaran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction / PBI) merupakan model pengajaran yang menyajikan pada siswa situasi masalah yang otentik dan bermakna yang dapat memberikan kemudahan kepada mereka untuk melakukan penyelidikan dan inkuiri. Peranan guru dalam PBI adalah mengajukan masalah, memfasilitasi penyelidikan dan dialog siswa, serta mendukung belajar siswa. PBI diorganisasikan di sekitar situasi kehidupan nyata yang menghindari jawaban sederhana dan mengandung pemecahan masalah yang bersaing. Adapun ciri-ciri utama PBI meliputi suatu pengajuan pertanyaan atau masalah, suatu pemusatan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama, serta menghasilkan karya dan peragaan.
Model pengajaran ini sangat efektif untuk mengajarkan proses-proses berpikir tingkat tinggi, membantu siswa memproses informasi yang telah dimilikinya, dan membantu siswa membangun sendiri pengetahuannya tentang dunia sosial dan fisik di sekelilingnya.
Pengajaran berdasarkan masalah berlandaskan pada psikologi kognitif dan pandangan para konstruktivis mengenai belajar sebagai pendukung teoritisnya. Fokus pengajaran tidak begitu banyak pada apa yang sedang dilakukan siswa (perilaku mereka), melainkan kepada apa yang mereka pikirkan (kognisi mereka) pada saat melakukan kegiatan itu.
Walaupun peran guru pada kelas PBI kadang melibatkan presentasi dan menjelaskan sesuatu hal kepada siswa, namun yang lebih umum adalah berperan sebagai pembimbing dan fasilisator sehingga siswa belajar untuk berpikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri. Teori-teori pembelajaran konstruktivis yang menekankan kebutuhan siswa untuk menyelidiki lingkungannya dan membangun secara pribadi pengetahuan bermakna, merupakan dasar ilmiah untuk PBI. Model pengajaran ini sesuai dengan yang dikehendaki oleh prinsip-prinsip CTL, yaitu inquiri, konstruktivisme, dan menekankan pada bepikir tingkat tinggi.
PBI tidak dirancang untuk membantu guru memberikan informasi sebanyak-banyaknya kepada siswa. Model pengajaran ini dikembangkan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir, pemecahan masalah, dan keterampilan intelektual. Siswa dilatih untuk belajar berperan sebagai orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata atau simulasi, dan menjadi pebelajar yang otonom dan mandiri.
B. Pembelajaran Berbasis Proyek
PBL (Project based Learning/ Pembelajaran Berbasis Proyek) merupakan metoda belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru berdasarkan pengalamannya dalam beraktifitas secara nyata. PBL dirancang untuk digunakan pada permasalahan komplek yang diperlukan pelajar dalam melakukan insvestigasi dan memahaminya.
Berikut pengertian PBL menurut beberapa ahli.
& PBL adalah metoda pengajaran sistematik yang mengikutsertakan pelajar ke dalam pembelajaran pengetahuan dan keahlian yang kompleks, pertanyaan authentic dan perancangan produk dan tugas [University of Nottingham, 2003]/
& PBL adalah pendekatan cara pembelajaran secara konstruktif untuk pendalaman pembelajaran dengan pendekatan berbasis riset terhadap permasalahan dan pertanyaan yang berbobot, nyata dan relevan bagi kehidupannya [Barron, B. 1998, Wikipedia].
& PBL adalah pendekatan komprehensif untuk pengajaran dan pembelajaran yang dirancang agar pelajar melakukan riset terhadap permasalahan nyata. [Blumenfeld et Al. 1991].
& PBL adalah cara yang konstruktif dalam pembelajaran menggunakan permasalahan sebagai stimulus dan berfokus kepada aktifitas pelajar. [Boud & Felleti, 1991]. Metoda ini memiliki kecocokan terhadap konsep inovasi pendidikan bidang keteknikan, terutama dalam hal sebagai berikut :
pelajar memperoleh pengetahuan dasar (basic sciences) yang berguna untuk memecahkan masalah bidang keteknikan yang dijumpainya,
pelajar belajar secara aktif dan mandiri dengan sajian materi terintegrasi dan relevan dengan kenyataan sebenarnya, yang sering disebut student-centered,
pelajar mampu berpikir kritis, dan mengembangkan inisiatif.
Ada tiga kategori umum penerapan proyek untuk pelajar, yakni mengembangkan keterampilan, meneliti permasalahan dan menciptakan solusi. Kreatifitas dari suatu proyek membantu perkembangan pertumbuhan individu. Berdasarkan hasil riset bahwa PBL memberikan kemampuan kognitif dan motivasi yang menghasilkan peningkatan pembelajaran dan kemampuan untuk lebih baik mempertahankan/ menerapkan pengetahuan.
Pada model PBL pelajar dilibatkan dalam memecahkan permasalahan yang ditugaskan, mengijinkan para pelajar untuk aktif membangun dan mengatur pembelajarannya, dan dapat menjadikan pelajar yang realistis. Pendekatan ini mengacu pada hal-hal sebagai berikut.
Kurikulum : PBL tidak seperti pada kurikulum tradisional, karena memerlukan suatu strategi sasaran di mana proyek sebagai pusat.
Responsibility : PBL menekankan responsibility dan answerability para pelajar ke diri dan panutannya.
Realisme : kegiatan pelajar difokuskan pada pekerjaan yang serupa dengan situasi yang sebenarnya. Aktifitas ini mengintegrasikan tugas otentik dan menghasilkan sikap profesional.
Active-learning : menumbuhkan isu yang berujung pada pertanyaan dan keinginan pelajar untuk menemukan jawaban yang relevan, sehingga dengan demikian telah terjadi proses pembelajaran yang mandiri.
Umpan Balik : diskusi, presentasi, dan evaluasi terhadap para pelajar menghasilkan umpan balik yang berharga. Ini mendorong kearah pembelajaran berdasarkan pengalaman.
Keterampilan Umum : PBL dikembangkan tidak hanya pada ketrampilan pokok dan pengetahuan saja, tetapi juga mempunyai pengaruh besar pada keterampilan yang mendasar seperti pemecahan masalah, kerja kelompok, dan self-management.
Driving Questions : PBL difokuskan pada pertanyaan atau permasalahan yang memicu pelajar untuk berbuat menyelesaikan permasalahan dengan konsep, prinsip dan ilmu pengetahuan yang sesuai.
Constructive Investigations : sebagai titik pusat, proyek harus disesuaikan dengan pengetahuan para pelajar.
Autonomy : proyek menjadikan aktifitas pelajar sangat penting.
Pendekatan PBL adalah penggunaan proyek sebagai metoda pengajaran/pembelajaran. Para pelajar bekerja secara nyata, seolah-olah ada di dunia nyata yang dapat menghasilkan produk secara realistis. Prinsip yang mendasari adalah bahwa dengan aktifitas kompleks ini, kebanyakan proses pembelajaran yang terjadi tidak tersusun dengan baik. Alternatif penggunaan PBL adalah sesuatu yang sangat berbeda. Dari pengalaman terdapat dua dimensi untuk menggolongkan alternatif PBL :
1) penyelesaian tugas dan pembelajaran pengetahuan yang pokok,
2) manajemen proyek dan pembelajaran ketrampilan secara umum.
Selama berlangsungnya proses belajar dalam PBL pelajar akan mendapat bimbingan dari narasumber atau fasilitator, tergantung dari tahapan kegiatan yang dijalankan.
Narasumber
Menyusun trigger problems.
Sebagai sumber pembelajaran untuk informasi yang tidak ditemukan dalam sumber pembelajaran bahan cetak atau elektronik.
Melakukan evaluasi hasil pembelajaran.
Fasilitator
Secara umum peran fasilitator adalah memantau dan mendorong kelancaran kerja kelompok, serta melakukan evaluasi terhadap efektifitas proses belajar kelompok. Secara lebih rinci peran fasilitator adalah sebagai berikut.
Mengatur kelompok dan menciptakan suasana yang nyaman.
Memastikan bahwa sebelum mulai setiap kelompok telah memiliki seorang anggota yang bertugas membaca materi, sementara teman-temannya mendengarkan, dan seorang anggota yang bertugas mencatat informasi yang penting sepanjang jalannya diskusi.
Memberikan materi atau informasi pada saat yang tepat, sesuai dengan perkembangan kelompok.
Memastikan bahwa setiap sesi diskusi kelompok diakhiri dengan self-evaluation.
Menjaga agar kelompok terus memusatkan perhatian pada pencapaian tujuan.
Memonitor jalannya diskusi dan membuat catatan tentang berbagai masalah yang muncul dalam proses belajar, serta menjaga agar proses belajar terus berlangsung, agar tidak ada tahapan dalam proses belajar yang dilewati atau diabaikan dan agar setiap tahapan dilakukan dalam urutan yang tepat.
Menjaga motivasi pelajar dengan mempertahankan unsur tantangan dalam penyelesaian tugas dan juga memberikan pengarahan untuk mendorong pelajar keluar dari kesulitannya.
Membimbing proses belajar pelajar dengan mengajukan pertanyaan yang tepat pada saat yang tepat. Pertanyaan ini hendaknya merupakan pertanyaan terbuka yang mendorong pelajar mencari pemahaman yang lebih mendalam tentang berbagai konsep, ide, penjelasan, sudut pandang, dan lain-lain.
Mengevaluasi kegiatan belajar pelajar, termasuk partisipasinya dalam proses kelompok. Pengajar perlu memastikan bahwa setiap pelajar terlibat dalam proses kelompok dan berbagi pemikiran dan pandangan.
Mengevaluasi penerapan PBL yang telah dilakukan.
C. Pembelajaran Kuantum
Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti:
Teori otak kanan/kiri
Teori otak triune (3 in 1)
Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik)
Teori kecerdasan ganda
Pendidikan holistik (menyeluruh)
Belajar berdasarkan pengalaman
Belajar dengan symbol
Simulasi/permainan
Sementara itu, dalam Quantum Teaching (2000:4) dikatakannya sebagai berikut. Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner), Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn), Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective Instruction (Hunter).
Dua kutipan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa ada bermacam-macam akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum. Pelbagai akar pandangan dan pikiran itu diramu, bahkan disatukan dalam sebuah model teoretis yang padu dan utuh hingga tidak tampak lagi asalnya – pada gilirannya model teoretis tersebut diujicobakan secara sistemis sampai ditemukan bukti-bukti empirisnya.
Di antara berbagai akar pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum yang dikemukakan oleh DePorter di atas, tidak dapat dipungkiri bahwa pandangan-pandangan teori sugestologi atau pembelajaran akseleratif Lozanov, teori kecerdasan ganda Gardner, teori pemrograman neurolinguistik (NLP) Grinder dan Bandler, dan pembelajaran eksperensial [berdasarkan pengalaman] Hahn serta temuan-temuan mutakhir neurolinguistik mengenai peranan dan fungsi otak kanan mendominasi atau mewarnai secara kuat sosok [profil] pembelajaran kuantum.
Teori kecerdasan ganda, teori pemograman neurolinguistik, dan temuan-temuan mutakhir neurolinguistik sangat berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum mengenai kemampuan manusia selaku pembelajar – khususnya kemampuan otak dan pikiran pembelajar. Selain itu, dalam batas tertentu teori dan temuan tersebut juga berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum tentang perancangan, penyajian, dan pemudahan [fasilitasi] proses pembelajaran untuk mengembangkan dan melejitkan potensi-diri pembelajar – khususnya kemampuan dan kekuatan pikiran pembelajar.
Sementara itu, pembelajaran akseleratif, pembelajaran eksperensial, dan pembelajaran kooperatif sangat berpengaruh terhadap pandangan dasar pembelajaran kuantum terhadap kiat-kiat merancang, menyajikan, mengelola, memudahkan, dan atau mengorkestrasi proses pembelajaran yang efektif dan optimal – termasuk kiat memperlakukan faktor-faktor yang menentukan keberhasilan proses pembelajaran.
KARAKTERISTIK UMUM KUANTUM
Walaupun memiliki akar landasan bermacam-macam sebagaimana dikemukakan di atas, pembelajaran kuantum memiliki karakteristik umum yang dapat memantapkan dan menguatkan sosoknya. Beberapa karakteristik umum yang tampak membentuk sosok pembelajaran kuantum sebagai berikut.
Pembelajaran kuantum berpangkal pada psikologi kognitif, bukan fisika kuantum meskipun serba sedikit istilah dan konsep kuantum dipakai.
Pembelajaran kuantum lebih bersifat humanistis, bukan positivistis-empiris, “hewan-istis”, dan atau nativistis.
Pembelajaran kuantum lebih bersifat konstruktivis(tis), bukan positivistis-empiris, behavioristis, dan atau maturasionistis.
Pembelajaran kuantum berupaya memadukan [mengintegrasikan], menyinergikan, dan mengolaborasikan faktor potensi-diri manusia selaku pembelajar dengan lingkungan [fisik dan mental] sebagai konteks pembelajaran.
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada interaksi yang bermutu dan bermakna, bukan sekadar transaksi makna.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan pada pemercepatan pembelajaran dengan taraf keberhasilan tinggi.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kealamiahan dan kewajaran proses pembelajaran, bukan keartifisialan atau keadaan yang dibuat-buat.
Pembelajaran kuantum sangat menekankan kebermaknaan dan kebermutuan proses pembelajaran.
Pembelajaran kuantum memiliki model yang memadukan konteks dan isi pembelajaran. Konteks pembelajaran meliputi suasana yang memberdayakan, landasan yang kukuh, lingkungan yang menggairahkan atau mendukung, dan rancangan belajar yang dinamis.
Pembelajaran kuantum memusatkan perhatian pada.
Pembelajaran kuantum menempatkan nilai dan keyakinan sebagai bagian penting proses pembelajaran.
Pembelajaran kuantum mengutamakan keberagaman dan kebebasan, bukan keseragaman dan ketertiban.
Pembelajaran kuantum mengintegrasikan totalitas tubuh dan pikiran dalam proses pembelajaran.
PRINSIP-PRINSIP UTAMA
Prinsip dapat berarti (1) aturan aksi atau perbuatan yang diterima atau dikenal dan (2) sebuah hukum, aksioma, atau doktrin fundamental. Pembelajaran kuantum juga dibangun di atas aturan aksi, hukum, aksioma, dan atau doktrin fundamental mengenai dengan pembelajaran dan pembelajar.
PANDANGAN TENTANG PEMBELAJARAN DAN PEMBELAJAR
Beberapa pandangan mengenai pembelajaran dan pembelajar yang dimaksud dapat dikemukakan secara ringkas berikut.
• Pembelajaran berlangsung secara aktif karena pembelajar itu aktif dan kreatif.
• Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila didasarkan pada karakteristik gaya belajar pembelajar sehingga penting sekali pemahaman atas gaya belajar pembelajar.
• Pembelajaran berlangsung efektif dan optimal bila tercipta atau terdapat suasana nyaman, menyenangkan, rileks, sehat, dan menggairahkan sehingga kenyamanan, kesenangan, kerileksan, dan kegairahan dalam pembelajaran perlu diciptakan dan dipelihara.
• Pembelajaran melibatkan lingkungan fisikal-mental dan kemampuan pikiran atau potensi diri pembelajar secara serempak.
• Pembelajaran terutama pengajaran membutuhkan keserasian konteks dan isi. Segala konteks pembelajaran perlu dikembangkan secara serasi dengan isi pembelajaran.
• Pembelajaran berlangsung optimal bilamana ada keragaman dan kebebasan karena pada dasarnya pembelajar amat beragam dan memerlukan kebebasan.
D. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pengajaran di mana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampuan berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan saling membantu untuk memahami suatu bahan pelajaran. Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pelajaran. Pembelajaran kooperatif adalah khas di antara model-model pembelajaran karena menggunakan suatu struktur tugas dan penghargaan yang berbeda untuk meningkatkan pembelajaran siswa. Model pembelajaran kooperatif berkembang dari kebiasaan pendidikan yang menekankan pada pemikiran demokratis dan latihan atau praktek, pembelajaran aktif, lingkungan pembelajaran yang kooperatif dan menghormati adanya perbedaan budaya masyarakat yang bermacam-macam.
Model pembelajaran kooperatif dikembangkan berdasarkan teori belajar konstruktivis sosial yang dikembangkan oleh Vygotsky. Menurut kalim ketiga Vygotsky, menyatakan bahwa kemampuan kognitif berasal dari hubungan sosial dan cultural. Pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Artinya, pengetahuan didistribusikan di antara orang dan lingkungan, yang mencakup objek, artifak, alat, buku, dan komunitas di mana orang berada. Fungsi mental yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam percakapan dan kerjasama antar individu sebelum fungsi-fungsi mental yang lebih tinggi itu terserap ke dalam individu tersebut. Implikasi dari teori Vygotsky ini adalah dikehendakinya susunan kelas berbentuk pembelajaran kooperatif.
Model pembelajaran kooperatif berbeda dengan pengajaran langsung. Disamping model pengajaran ini dikembangkan untuk mencapai hasil belajar akademik, model kooperatif juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial siswa. Beberapa ahli berpendapat bahwa model ini unggul dalam membantu siswa memahami konsep-konsep yang sulit. Para pengembang model ini telah menunjukkan bahwa model struktur penghargaan kooperatif telah dapat meningkatkan penilaian siswa pada belajar akademik dan perubahan norma yang berhubungan dengan hasil belajar.
Selain itu, pembelajaran kooperatif memberi keuntungan baik pada siswa kelompok bawah maupun kelompok atas yang bekerja bersama menyelesaikan tugas-tugas akademik. Siswa kelompok atas akan menjadi tutor sebaya bagi siswa kelompok bawah, dimana mereka memiliki orientasi dan bahasa yang sama sehingga memudahkan terjadinya komunikasi dua arah.
Model pembelajaran kooperatif bertujuan agar terdapat efek (pengaruh) di luar pembelajaran akademik, khususnya peningkatan penerimaan antarkelompok serta keterampilan sosial dan keterampilan kelompok. Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi. Keterampilan ini sangat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di mana pekerjaan orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan di mana masyarakat secara budaya sangat beragam. Kurangnya kemampuan berkolaborasi menyebabkan seringnya terjadi pertikaian, kesalahpahaman, kekerasan, dan betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk bekerja dalam situasi kooperatif.
Diperlukan lingkungan pembelajaran yang kooperatif dari pada kompetitif dalam hal tugas-tugas dan penghargaan. Dasar-dasar teoretis dan empiris mendukung penggunaan model pembelajaran kooperatif untuk tujuan pendidikan berikut: mendapatkan tingkah laku kooperatif, hasil kerja teoreitis dan memperbaiki hubungan-hubungan yang tidak harmonis.
E. Pembelajaran Sirklus
Siklus belajar adalah model pembelajaran yang fleksibel, terutama bagi seseorang yang kurang mendapat pengalaman langsung sehingga melalui siklus belajar siswa akan memperoleh pengalaman tersebut, misalnya dalam fase eksplorasi.
Macam-Macam Siklus Belajar
Terdapat tiga macam siklus, yaitu deskriptif, empirikal-abduktif, dan hipotetikal-deduktif. Perbedaan ketiga macam siklus belajar hanya terletak pada usaha siswa mendeskripsikan sifat-sifat atau generalisasi eksplisit dan menguji hipotesis-alternatif.
Pada siklus belajar deskriptif, siswa menemukan dan mendeskripsikan pola empirik dalam konteks yang khas.
Pada siklus belajar empirikal-abduktif, siswa juga menemukan, seperti pada siklus pertama (eksplorasi), tetapi telah melangkah lebih jauh, yaitu dengan menciptakan sebab-sebab yang mungkin ada pada pola tersebut.
Pada siklus belajar hipotetikal-deduktif, siswa mengemukakan per-tanyaan-pertanyan sebab musabab yang dapat menimbulkan beberapa macam penjelasan.
F. Pembelajaran Generatif
Pengertian Pembelajaran Generatif
Pembelajaran Generatif (PG) merupakan terjemahan dari Generative Learning (GL). Menurut Osborno dan Wittrock dalam Katu (1995.b:1), pembelajaran generatif merupakan suatu model pembelajaran yang menekankan pada pengintegrasian secara aktif pengetahuan baru dengan menggunakan pengetahuan yang sudah dimiliki mahasiswa sebelumnya. Pengetahuan baru itu akan diuji dengan cara menggunakannya dalam menjawab persoalan atau gejala yang terkait. Jika pengetahuan baru itu berhasil menjawab permasalahan yang dihadapi, maka pengetahuan baru itu akan disimpan dalam memori jangka panjang.
Landasan Teoritik dan Empirik Pembelajaran Generatif
Pembelajaran generatif memiliki landasan teoritik yang berakar pada teori-teori belajar konstruktivis mengenai belajar dan pembelajaran. Butir-butir penting dari pandangan belajar menurut teori konstruktivis ini menurut Nur (2000:2-15) dan Katu (1995.a: 1-2), diantaranya adalah :
Menekankan bahwa perubahan kognitif hanya bisa terjadi jika konsepsi-konsepsi yang telah dipahami sebelumnya diolah melalui suatu proses ketidakseimbangan dalam upaya memahami inforamasi-informasi baru.
Seseorang belajar jika dia bekerja dalam zona perkembangan terdekat, yaitu daerah perkembangan sedikit di atas tingkat perkembangannya saat ini. Seseorang belajar konsep paling baik apabila konsep itu berada dalam zona tersebut.
Penekanan pada prinsip Scaffolding, yaitu pemberian dukungan tahap demi tahap untuk belajar dan pemecahan masalah.
Lebih menekankan pada pengajaran top-down daripada bottom-up. Top-down berarti mahasiswa langsung mulai dari masalah-masalah kompleks, utuh, dan autentik untuk dipecahkan.
Menganut asumsi sentral bahwa belajar itu ditemukan. Meskipun jika kita menyampaikan informasi kepada mahasiswa, tetapi mereka harus melakukan operasi mental atau kerja otak atas informasi tersebut untuk membuat informasi itu masuk ke dalam pemahaman mereka.
Menganut visi mahasiswa ideal, yaitu seorang mahasiswa yang dapat memiliki kemampuan pengaturan diri sendiri dalam belajar.
Menganggap bahwa jika seseorang memiliki strategi belajar yang efektif dan motivasi, serta tekun menerapkan strategi itu sampai suatu tugas terselesaikan demi kepuasan mereka sendiri, maka kemungkinan sekali mereka adalah pelajar yang efektif dan memiliki motivasi abadi dalam belaja
Tahapan Pembelajaran Generatif
Langkah-langkah atau tahapan pembelajaran generatif menurut Katu (1995. b:5-6), terdiri atas 5 tahap dengan penjelasan sebagai berikut :
a. Tahap-1 : Pengingatan
Pada tahap awal ini, dosen menuliskan topik dan melibatkan mahasiswa dalam diskusi yang bertujuan untuk menggali pemahaman mereka tentang topik yang akan dibahas. Tujuan dari tahap pengingatan ini adalah untuk menarik perhatian mahasiswa terhadap pokok yang sedang dibahas, membuat pemahaman mereka menjadi eksplisit, dan sadar akan variasi pendapat di antara mereka sendiri. Untuk membuat suasana menjadi kondusif, dosen diharapkan tidak akan menilai mana pendapat yang “salah” dan mana yang “benar”. Yang perlu dilakukan adalah membuat mereka berani mengemukakan pendapatnya tanpa takut disalahkan. Sebaiknya pertanyaan yang diajukan dosen adalah pertanyaan terbuka.
b. Tahap-2 : Tantangan dan Konfrontasi
Setelah dosen mengetahui pandangan sebagian mahasiswanya, dosen mengajak mereka untuk mengemukakan fenomena atau gejala-gejala yang diperkirakan muncul dari suatu peristiwa yang akan didemonstrasikan kemudian. Dosen diharapkan untuk mencatat dan mengelompokkan dugaan dan penjelasan yang muncul di papan tulis. Secara sadar dosen mempertentangkan pendapat-pendapat yang berbeda itu. Setelah itu dosen melaksanakan demonstrasi dan meminta mahasiswa untuk mengamati dengan seksama gejala yang muncul.
c. Tahap-3 : Reorganisasi Kerangka Kerja Konsep
Pada tahap ini dosen membantu mahasiswa dengan mengusulkan alternatif tafsiran menurut fisikawan dan menunjukkan bahwa pandangan yang dia usulkan dapat menjelaskan secara koheren gejala yang mereka amati. Diharapkan mahasiswa mulai mereorganisasi kerangka berpikir mereka dengan melakukan perubahan struktur dan hubungan antar konsep-konsep. Proses reorganisasi ini tentu membutuhkan waktu.
d. Tahap-4 : Aplikasi Konsep
Pada tahap ini, dosen memberikan berbagai persoalan dengan konteks yang berbeda untuk diselesaikan oleh mahasiswa dengan kerangka konsep yang telah mengalami rekonstruksi. Maksudnya adalah memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan/keterampilan baru mereka pada situasi dan kondisi yang baru. Pelatihan ini dimaksudkan juga untuk lebih menguatkan hubungan antar konsep di dalam kerangka berpikir yang baru mengalami reprganisasi.
c. Tahap-5 : Menilai Kembali
Dalam suatu diskusi, dosen mengajak mahasiswanya dalam menilai kembali kerangka kerja konsep yang telah mereka dapatkan.
Beberapa Petunjuk Pelaksanaan Pembelajaran Generatif
Dalam melaksanakan pembeljaran generatif,menuru Sutrisno (1995:3), dosen perlu memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menyajikan demonstrasi untuk menantang intuisi mahasiswa. Setelah dosen mengetahui intuisi yang dimiliki mahasiswa, dosen mempersiapkan demonstrasi yang menghasilkan peristiwa yang dapat berbeda dari intuisi mahasiswa. Dengan melihat peristiwa yang berbeda dari dugaan mereka maka di dalam pikiran mereka timbul perasaan kacau (dissonance) yang secara psikologis membangkitkan perasaan tidak tenteram sehingga dapat memotivasi mereka untuk mengurangi perasaan kacau itu dengan mencari alternatif penjelasan.
b. Mengakomodasi keinginan mahasiswa dalam mencari alternatif penjelasan dengan menyajikan berbagai kemungkinan kegiatan mahasiswa antara lain berupa eksperimen/percobaan, kegiatan kelompok menggunakan diagram, analogi, atau simulasi, pelatihan menggunakan tampilan jamak (multiple representation) untuk mengaktifkan mahasiswa dalam proses belajar. Variasi kegiatan ini dapat membantu mahasiswa memperoleh penjelasan yang cukup memuaskan.
c. Untuk lebih memperkuat pemahaman mereka maka dosen dapat memberikan soal-soal terbuka (open-ended questions), soal-soal kaya konteks (context-rich problems) dan pertanyaan terbalik (reverse questions) yang dapat dikerjakan secara kelompok.
G. Pembelajaran Berbasis TIK
TIK bisa dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan. Pembelajaran apabila para guru yang berdiri di garda depan dalam dunia pendidikan kita tidak “gaptek”. Minimal, mereka bisa mengoperasikannya sehingga siswa didik bisa “menikmati” media pembelajaran dengan segenap emosi dan pikirannya. Sebuah kesia-siaan apabila sekolah “dimanja” dengan berbagai piranti teknologi mutakhir, tetapi mereka tak sanggup memanfaatkannya secara maksimal. Sebagai “agen perubahan dan peradaban” dunia persekolahan kita tampaknya memang harus sudah mulai mengakrabi TIK. Di kelaslah “ruh kurikulum” berada. Dalam benak saya terbersit bayangan, di sekolah yang telah memanfaatkan TIK untuk merevitalisasi pembelajaran, ada sebuah moving class, yang bisa dimanfaatkan secara bergiliran –sesuai jadwal– oleh guru dari berbagai mata pelajaran.
Di klas itu sudah tersedia komputer (PC atau notebook) online, LCD, scanner, printer, dan berbagai software pembelajaran yang menarik dan memikat perhatian siswa didik. Dengan terampil, sang guru akan mengemas pembelajarannya melalui berbagai tayangan media yang menarik, sehingga mampu menggugah emosi dan pikiran siswa untuk bersikap kreatif, penuh inistatif, dan kritis. Dengan demikian, pembelajaran betul-betul berlangsung secara aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Ini artinya, setiap guru, mau atau tidak, harus siap menyongsong “era baru” melalui pemanfaatan TIK dalam kegiatan pembelajaran. Alasan “tidak bisa”, “tidak berbakat” perlu dikubur dalam karena siapa pun bisa menggunakan TIK asalkan mau belajar dan tidak malu bertanya.
Untuk menciptakan atmosfer baru dalam dunia pembelajaran di sekolah, harus ada upaya serius untuk memberdayakan guru agar mereka tidak “gaptek” lagi dalam memanfaatkan TIK untuk kepentingan pembelajaran. Jika tidak ada upaya serius dan intensif, disadari atau tidak, pemanfaatan TIK dalam pembelajaran hanya akan terapung-apung dalam bentangan slogan dan retorika belaka.
H. Pembelajaran Berbasis Modul
Modul adalah paket bahan belajar yang berisi satuan unit konsep yang tunggal/bulat dan atau utuh. Modul menggiring terjadinya individulisasi belajar yang mempersyaratkan anak untuk menguasai satu satuan unit konsep isi bahan belajar sebelum berpindah ke pengkajian satuan unit konsep bahan belajar berikutnya.
Modul berupa unit terkecil dari suatu program pembelajaran yang terdiri atas komponen : petunjuk guru, petunjuk aktivitas siswa, lembaran kerja siswa, lembar jawaban siswa, asesmen siswa dan lembar jawaban asesmen (Soedijarto, 1976:25). Pembelajaran melalui modul merupakan cara pengorganisasian material dan aktivitas dengan ciri-ciri : anak memahami tujuan khusus yang akan dicapai, memiliki opsi aktivitas yang dapat dipilih untuk mencapai tujuan khusus, misalnya membaca teks, diskusi, observasi, penggunaan AVA dan sejenisnya, dapat membelajarkan diri sendiri dengan bantuan guru yang sangat kecil, dapat menentukan sendiri kecepatan belajarnya, dan memiliki prosedur pengecekan untuk mengetahui keberhasilan belajar. (Charles, 1980:116).
Suprihadi , dkk.(2001) menyebutkan, modul merupakan suatu unit pembelajaran yang lengkap yang berdiri sendiri dan terdiri atas suatu rangkaian kegiatan belajar yang disusun untuk membantu sibelajar mencapai sejumlah tujuan yang telah dirumuskan secara khusus dan jelas. Di dalam menerapkan sistem modul, pembelajar hendaknya memperhatikan hal-hal berikut (Palardy, 1975).
a. Menyediakan bahan-bahan bacaan alternatif pada berbagai tingkat kesukaran;
b. Menyediakan bermacam-macam topik untuk dipelajari oleh sibelajar;
c. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk memilih topik-topik yang akan dipelajarinya;
d. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk menyusun tujuan pembelajaran;
e. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk belajar dengan menggunakan atau sesuai dengan kebiasaan belajarnya;
f. Mendorong sibelajar untuk mencari dan menemukan sumber-sumber informasi;
g. Menyediakan bermacam-macam cara belajar;
h. Memberi kesempatan kepada sibelajar untuk maju sesuai dengan kemampuannya;
i. Menyediakan bantuan tutorial;
j. Merencanakan dan melaksanakan pretes diagnostik untuk menentukan apa yang telah diketahui oleh sibelajar;
Penerapan pembelajaran dengan sistem modul bertujuan untuk membuka kesempatan bagi sibelajar untuk belajar menurut kecepatan dan caranyanya masing-masing. Modul juga menyediakan berbagai kegiatan pembelajaran, seperti membaca buku pelajaran, buku perpustakaan, majalah, karangan, gambar, foto, diagram, film, slide, mendengarkan audio-tape, mempelajari alat-alat demonstrasi, turut serta dalam proyek atau percobaan serta mengikuti kegiatan ekstra kurikuler. Selain itu modul dapat memberikan pilihan dari sejumlah besar topik dalam rangka suatu pelajaran, serta memberi kesempatan kepada sipebelajar untuk mengenal kelebihan dan kekurangannya serta memperbaiki kelemahan-kelemahannya.
Keuntungan yang bisa diperoleh melalui pembelajaran dengan sistem modul antara lain :
dapat memberikan balikan sesegera mungkin dan berkali-kali,
mengutamakan prinsip belajar tuntas,
memiliki tujuan yang jelas dan spesifik,
dapat menimbulkan motivasi yang kuat dalam belajar,
fleksibel,
mengurangi rasa persaingan dan meningkatkan kerja sama,
menyediakan program pengajaran remedial,
dapat memberikan rasa puas pada sipebelajar,
menyediakan bantuan individual,
pengayaan dan
mencegah kemubasiran dalam kegiatan belajar.
Peranan Guru dan Fasilitas kelas dalam Pembelajaran dengan Modul
Modul pada dasarnya adalah self instruction. Oleh karena itu, belajar melalui modul lebih menekankan peranan aktif siswa untuk membelajarkan diri sendiri. Meskipun demikian, pembelajaran dengan modul tidak berarti membebaskan peranan guru dalam pembelajaran di kelas. Peranan guru tetap ada tetapi mengalami perubahan. Beberapa peranan guru dalam pembelajaran melalui modul adalah sebagai berikut:
guru mengkaji terlebih dahulu buku petunjuk guru yang berisi uraian tentang tujuan dan strategi belajar, media dan alat evaluasi, agar dapat menyiapkan lingkungan belajar yang diperlukan anak dalam beljarnya,
menjelaskan proses belajar yang harus diikuti anak sebelum menyampaikan modulnya itu sendiri,
memberikan bimbingan kepada anak dalam belajarnya, serta mampu menemukan kesalahan proses belajar yang dilakukan anak, sehingga segera dapat meluruskannya, memberikan informasi seperlunya ,
memberikan penilaian atas pekerjaan anak atas tugas-tugasnya bersama anak itu sendiri,
menyiapkan keperluan anak untuk melanjutkan modul berikutnys. Pendek kata dalam pembelajaran dengan modul, peranan guru adalah manajer yang bertugas untuk menyiapkan dan mengondisi kemudahan belajarnya anak, sebagai observer yang bertugas untuk mendiagnosis kesulitan belajar anak.
Fasilitas kelas untuk pembelajaran dengan modul sebagai berikut. Susunan ruang kelas perlu di atur untuk memudahkan anak belajar, dalam arti perlu pengaturan sehingga ada area membaca, area menulis, area ava, dan lain-lain relevan dengan bentuk-bentuk belajar yang terdapat di modul.
Modul secara fisik berupa buku-buku cetakan yang meliputi , buku cetakan tentang petunjuk guru, buku kegiatan siswa, lembar kerja siswa, lembar jawaban kerja siswa, lembar penilaian dan lembara jawaban penilaian. Mengingat hal itu, maka setiap kelas perlu disediakan almari untuk penyimpanan nya. Di samping itu, tersedia pula alat-alat belajar yang diperlukan anak untuk melakukan kegiatan siswa. Semuanya membutuhkan tempat penyimpanan khusus, sehingga memudahkan anak ketika memerlukan maupun menyimpannya kembali.
I. Pembelajaran Ranah Motorik
Penekanan proses pembelajarannya lebih banyak ditujukan pada proses perangsangan yang bervariasi, sehingga setiap kali anak selalu mengerahkan kemampuannya dalam mengolah informasi. Domain kognitif mencakup pengetahuan tentang fakta, konsep, dan lebih penting lagi adalah penalaran dan kemampuan memecahkan masalah. Aspek kognitif tidak saja menyangkut penguasaan pengetahuan faktual semata-mata, tetapi meliputi pula pemahaman terhadap gejala gerak dan prinsipnya, termasuk yang berkaitan dengan landasan ilmiah pendidikan jasmani dan olahraga serta manfaat pengisian waktu luang
Domain afektif mencakup sifat-sifat psikologis yang menjadi unsur kepribadian yang kukuh. Tidak hanya tentang sikap sebagai kesiapan berbuat yang perlu dikembangkan, tetapi yang lebih penting adalah konsep diri dan komponen kepribadian lainnya, seperti intelegensia emosional dan watak.
Konsep diri menyangkut persepsi diri atau penilaian seseorang tentang kelebihannya. Konsep diri merupakan fondasi kepribadian anak dan sangat diyakini ada kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan mereka setelah dewasa kelak. Intelegensia emosional mencakup beberapa sifat penting, yakni pengendalian diri, kemampuan memotivasi diri, ketekunan, dan kemampuan untuk berempati.
Pengendalian diri merupakan kualitas pribadi yang mampu menyelaraskan pertimbangan akal dan emosi yang menjadi sifat penting dalam kehidupan sosial dan pencapaiannya untuk sukses hidup di masyarakat. Demikian juga dengan ketekunan; tidak ada pekerjaan yang dapat dicapai dengan baik tanpa ada ketekunan. Ini juga berlaku sama dengan kemampuan memotivasi diri, kemandirian untuk tidak selalu diawasi dalam menyelesaikan tugas apapun. Di lain pihak, kemampuan berempati merupakan kualitas pribadi yang mampu menempatkan diri di pihak orang lain, dengan mencoba mengetahui perasaan oran lain.
Karena itu pula empati disebut juga sebagai kecerdasan hubungan sosial. “Cubitlah diri kamu sendiri, sebelum mencubit orang lain. Niscaya kamu akan mengetahui, apa yang boleh dan tidak boleh kamu lakukan pada orang lain,” merupakan kearifan leluhur, yang jika diperas maknanya, tidak lain adalah penekanan kemampuan berempati. Gerak Sebagai Kebutuhan Anak Dunia anak-anak adalah dunia yang segar, baru, dan senantiasa indah, dipenuhi keajaiban dan keriangan.
Demikian Rachel Carson dalam sebuah ungkapannya. Namun demikian, menurut Carson, adalah kemalangan bagi kebanyakan kita bahwa dunia yang cemerlang itu terenggut muram dan bahkan hilang sebelum kita dewasa. Dunia anak-anak memang menakjubkan, mengandung aneka ragam pengalaman yang mencengangkan, dilengkapi berbagai kesempatan untuk memperoleh pembinaan . Bila guru masuk ke dalam dunia itu, ia dapat membantu anak-anak untuk mengembangkan pengetahuannya, mengasah kepekaan rasa hatinya serta memperkaya keterampilannya. Bermain adalah dunia anak. Sambil bermain mereka belajar. Dalam hal belajar, anak-anak adalah ahlinya. Segala macam dipelajarinya, dari menggerakkan anggota tubuhnya hingga mengenali berbagai benda di lingkungan sekitarnya. Bayangkan keceriaan yang didapatnya ketika ia menyadari baru saja menambah pengetahuan dan keterampilan. “Lihat, saya sudah bisa “ teriaknya kepada semua orang.Belajar dan keceriaan merupakan dua hal penting dalam masa kanak-kanak.
Hal ini termasuk upaya mempelajari tubuhnya sendiri dan berbagai kemungkinan geraknya. Misi pendidikan jasmani tercakup dalam tujuan pembelajaran yang meliputi domain kognitif, afektif dan psikomotor. Perkembangan pengetahuan atau sifat-sifat sosial bukan sekedar dampak pengiring yang menyertai keterampilan gerak.
Tujuan itu harus masuk dalam perencanaan dan skenario pembelajaran. Kedudukannya sama dengan tujuan pembelajaran pengembangan domain psikomotor.Dalam hal ini, untuk mencapai tujuan tersebut , guru perlu membiasakan diri untuk mengajar anak tentang apa yang akan dipelajari berlandaskan pemahaman tentang prinsip-prinsip yang mendasarinya. Pergaulan yang terjadi di dalam adegan yang bersifat mendidik itu dimanfaatkan secara sengaja untuk menumbuhkan berbagai kesadaran emosional dan sosial anak. Dengan demikian anak akan berkembang secara menyeluruh, yang akan mendukung tercapainya aneka kemampuan. Pendidikan jasmani merupakan suatu bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan umum. Lewat program penjas dapat diupayakan peranan pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu. Tanpa penjas, proses pendidikan di sekolah akan pincang.Sumbangan nyata pendidikan jasmani adalah untuk mengembangkan keterampilan (psikomotor). Karena itu posisi pendidikan jasmani menjadi unik, sebab berpeluang lebih banyak dari mata pelajaran lainnya untuk membina keterampilan. Hal ini sekaligus mengungkapkan kelebihan pendidikan jasmani dari pelajaran-pelajaran lainnya. Jika pelajaran lain lebih mementingkan pengembangan intelektual, maka melalui pendidikan jasmani terbina sekaligus aspek penalaran, sikap dan keterampilan.Ada tiga hal penting yang bisa menjadi sumbangan unik dari pendidikan jasmani, yaitu:• meningkatkan kebugaran jasmani dan kesehatan siswa,• meningkatkan terkuasainya keterampilan fisik yang kaya, serta• meningkatkan pengertian siswa dalam prinsip-prinsip gerak serta bagaimana menerapkannya dalam praktek.
J. Pembelajaran Tematik
Pembelajaran tematik adalah pembelajaran terpadu yang mengggunakan tema untuk mengaitkan beberapa mata pelajaran. Jadi batasan waktu dan cakupan materi kegiatan siswa di sekolah didasarkan pada tema yang dikembangkan oleh guru, bukan didasarkan pada jadwal mata pelajaran.
dua alasan mendasar diterapkan pembelajaran tematik yaitu:
Pertama: Perkembangan psikologis anak
Piaget (1950) menyatakan bahwa setiap anak memiliki struktur kognitif yang disebut schemata yaitu sistem konsep yang ada dalam pikiran sebagai hasil pemahaman terhadap obyek yang ada dalam lingkungannya. Pemahaman tentang obyek tersebut berlangsung melalui proses asimilasi (menghubungkan obyek dengan konsep yang sudah ada dalam pikirannya) dan akomodasi (proses memanfaatkan konsep-konsep dalam pikiran untuk menafsirkan objek). Belajar dimaknai sebagai proses interaksi diri anak dengan lingkungannya. Anak belajar dari hal-hal yang konkrit yakni yang dapat dilihat, didengar, dibaui, dan diraba.
Kedua : Pembelajaran bermakna.
Proses belajar tidak sekadar menghafal konsep-konsep atau fakta belaka, tetapi kegiatan menghubungkan konsep-konsep untuk menghasilkan pemahaman yang lebih utuh. Hal ini sejalan dengan falsafah konstruktivisme yang menyatakan bahwa manusia mengkontruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak.
beberapa keuntungan lain dilaksanakan pembelajaran tematik, antara lain:
e Pembelajaran menjadi menyenangkan
Siswa sungguh senang karena pembelajaran dikelola sesuai dengan perkembangan jiwa anak dengan bermain dan melakukan kegiatan kreatif
e Siswa mudah memusatkan perhatian
Dalam pembelajaran tematik kegiatan berjalan mengalir tanpa dipenggal-penggal dengan pergantian jam pelajaran. Perhatian siswa tidak terpecah-pecah.
e Penguasaan kompetensi akan lebih kuat dan mendalam.
Dengan perhatian yang lebih terpusat dan kegiatan yang lebih tuntas, ditambah lagi dengan suasana yang menyenangkan serta materi sesuai dengan konteksnya, maka dapat diharapkan penguasaan kompetensi siswa lebih kuat dan mendalam.
e Hemat waktu
Dengan demikian jelaslah bahwa pembelajaran tematik sungguh-sungguh menghemat waktu.
e Pelaksanaan Pembelajaran Tematik
Polanya mengikuti pola yang dikeluarkan oleh BNSP, yaitu ada kegiatan pembuka, inti dan penutup.
K. Pembelajaran contextual teaching and learning (CTL)
Pendekatan kontekstual atau contextual teaching and learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata, dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, dan tenaga kerja.
Pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan siswa untuk menguatkan, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademik mereka dalam berbagai macam tatanan dalam sekolah dan luar sekolah agar dapat memecahkan masalah-masalah dunia nyata atau masalah yang disimulasikan.
Pembelajaran kontekstual terjadi apabila siswa menerapkan dan mengalami apa yang sedang diajarkan dengan mengacu pada masalah-masalah dunia nyata yang berhubungan dengan peran dan tanggungjawab mereka sebagai anggota keluarga, warga negara, siswa, dan tenaga kerja. Pembelajaran kontekstual adalah pembelajaran yang terjadi dalam hubungan yang erat dengan pengalaman sesungguhnya. CTL menekankan pada berpikir tingkat lebih tinggi, transfer pengetahuan lintas disiplin, serta pengumpulan, penganalisaan dan pensintesisan informasi dan data dari berbagai sumber dan pandangan.
Pendekatan CTL memiliki tujuh komponen/pilar utama, yaitu konstruktivisme (constructivism), menemukan (inquiri), bertanya (questioning), masyarakat belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection), dan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment). Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan CTL jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya. CTL dapat diterapkan dalam kurikulum apa saja, bidang apa saja, dan kelas yang bagaimanapun keadaannya.
L. Pembelajaran Eypocitory
Exposition” (ekspositorik) yang berarti guru hanya memberikan informasi yang berupa teori, generalisasi, hukum atau dalil beserta bukti bukti yang mendukung. Siswa hanya menerima saja informasi yang diberikan oleh guru. Pengajaran telah diolah oleh guru sehingga siap disampaikan kepada siswa, dan siswa diharapkan belajar dari informasi yang diterimanya itu, disebut ekspositorik. Dalam suatu pengajaran, pada umumnya guru menggunakan dua kutub strategi serta metode mengajar yang lebih dari dua macam, bahkan menggunakan metode campuran.
Suatu saat guru dapat menggunakan strategi ekspositorik dengan metode ekspositorik juga. Guru dapat memilih metode ceramah, ia hanya akan menyampaikan pesan berturut-turut sampai pada pemecahan masalah/eksperimen bila guru ingin banyak melibatkan siswa secara aktif. Strategi mana yang lebih dominan digunakan oleh guru tampak pada contoh berikut:
Pada Taman kanak-kanak, guru menjelaskan kepada anak-anak, aturan untuk menyeberang jalan dengan menggunakan gambar untuk menunjukkan aturan :
Berdiri pada jalur penyeberangan, menanti lampu lintas sesuai dengan urutan wama, dan sebagainya Dalam contoh tersebut, guru menggunakan strategi ekspositorik.
Dengan film sebagai media, akan merupakan strategi ekspositori bila direncanakan untuk menjelaskan kepada siswa tentang apa yang harus mereka perbuat, mereka diharapkan menerima dan melaksanakan informasi/penjelasan tersebut. Strategi ini akan menyebabkan anak berpikir untuk dapat menemukan jalan yang dianggap terbaik bagi dirinya masing-masing. Tugas tersebut memungkinkan siswa mengajukan pertanyaan pertanyaan sebelum mereka sampai pada penemuan-penemuan yang dianggapnya terbaik. Mungkin mereka perlu menguji cobakan penemuannya, kemungkinan mencari jalan lain kalau dianggap kurang baik.
UNTUK MATERI BERUPA PPT KLIK DISINI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar